Pilih Bahasa

Jumat, 06 Juli 2012

KAB.LAMONGAN-Masyarakat Sambut Baik Hadirnya Pemanen Padi Modern




Prospek pasar Pemanen padi Modern (combine harvester) tampaknya lumayan cerah. Mesin pemanen padi yang sekaligus sebagai perontok dan pengemas ini mendapat sambutan baik saat diuji-cobakan di sejumlah tempat di Lamongan, seminggu terakhir.


Sejumlah petani mengemukakan, mengaku sangat puas melihat hasil kerja mesin yang bakal didistribusikan CV. Wong Tani Sejati. Sebab selain menghemat waktu panen, kerugian hasil panen jauh lebih sedikit dengan menggunakan combine harvester ini. ” Kalau pakai cara biasa, minimal 11 persen gabah kita hilang. Dengan mesin ini hanya 2 persen yang hilang,” kata Sutarjo (Pakne Dhani), petani warga Desa Lopang, Kecamatan Kembangbahu Kabupaten Lamongan.

Hal yang sama disampaikan Anggota DPRD Kab. Lamongan Dari Fraksi PKB, Drs. H. Sanusi, M.Si. Menurutnya, mesin tersebut sangat membuka peluang peningkatan produktivitas petani. Saat ini petani sudah setengah putus asa lantaran selalu menderita kerugian akibat anomali iklim. Waktu petani habis untuk mengolah lahannya, namun tidak tergantikan lantaran hasil panen tidak terlalu baik. Sudah begitu, saat panen masih harus rela kehilangan banyak gabah.” Dengan mesin ini hal-hal seperti itu bisa ditekan. Jadi bisa menggairahkan petani,” kata  Drs. H. Sanusi, M.Si .

Diakuinya, semula petani sinis menanggapi kabar bakal ada ujicoba mesin pemanen padi. Namun setelah melihat sendiri kerja combine harvester, para petani berdecak kagum dan dengan antusias menerima tawaran mencobanya.

Hanya saja, kata Drs. H. Sanusi, M.Si. , harga mesin ini masih belum menjangkau kantong petani. Untuk mesin pemanen padi ini dijual dengan Harga Rp. 275 juta.

Tetapi masalah tersebut tidak menjadi hambatan bagi petani. Sebab pihak distributor bersedia “meminjam”kannya dengan sistem sewa. Dengan harga sewa Rp. 1.500.000/Hektar dan bisa menghubungi CV. wong Tani Sejati (081331511711).

Di Lamongan sendiri, combine harvester ini telah diujicobakan di Desa Lopang, Desa Mangkujajar, Desa Kembangbahu dan Desa Doyomulyo. Kesemuanya ada di wilayah kerja Kecamatan Kembangbahu.





Petani Kaget Lihat Cara Kerja Mesin Pemanen Padi Modern


"CV. Wong Tani Sejati " Siap Datangkan Mesin Ke Indonesia




Lamongan, anggota Kelompok Tani Desa Lopang Kecamatan Kembangbahu Kabupaten Lamongan  mengaku sangat terbantu dengan datangnya Mesin Pemanen modern yang diprakarsai CV. Wong Tani Sejati.

Melihat kecepatan kerja mesin tadi serasa dalam mimpi, karena seumur – umur kami belum pernah memanen padi dalam waktu hitungan menit,” katanya.





“Mesin tadi masuk beberapa unit ke Indonesia, dan 1 unitnya langsung dikirim ke Lamongan,”. Mesin 4HZ-2.0.D Di Jual dengan Harga Rp. 285.000.000./Unit, Belum Termasuk Ongkos Kirim Untuk Wilayah Jawa Timur.


Yang paling menakjubkan,  gabah langsung dipisah dan dimasukkan ke karung.  “Kalau dihitung-hitung, alat ini juga dapat meminimalisir biaya panen,” 

Khusnan, Direksi CV. Wong Tani Sejati mengungkapkan kalau Mesin Panen Padi Kombinasi model 4HZ-20 D yang yang disewakan Rp. 1.500.000/Ha, merupakan mesin yang didatangkan langsung dari pabrikan di China.

Selain di Indonesia (Lamongan),  Mesin Panen Padi Kombinasi ini juga didatangkan  ke beberapa negara penghasil beras lain, seperti Thailand dan Vietnam.


SISTEM PERTANIAN MODERN




Pertanian modern yang bertumpu pada pasokan eketernal berupa bahan-bahan kimia buatan (pupuk dan pestisida), menimbulkan kekhawatiran berupa pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, sedangkan pertanian tradisional yang bertumpu pada pasokan internal tanpa pasokan eksternal menimbulkan kekhawatiran berupa rendahnya tingkat produksi pertanian, jauh di bawah kebutuhan manusia. Kedua hal ini yang dilematis dan hal ini telah membawa manusia kepada pemikiran untuk tetap mempertahankan penggunaan masukan dari luar sistem pertanian itu, namun tidak mebahayakan kehidupan manusia dan lingkungannya (Mugnisjah, 2001). Pertanian modern dikhawatirkan memberikan dampak pencemaran sehingga membahayakan kelestarian lingkungan, hal ini dipandang sebagai suatu krisis pertanian modern.

Sebagai alternatif penanggulangan krisis pertanian modern adalah penerapan pertanian organik. Kegunaan budidaya organik menurut Sutanto (2002) adalah meniadakan atau membatasi kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan oleh budidaya kimiawi. Pemanfaatan pupuk organik mempunyai keunggulan nyata dibanding dengan pupuk kimia. Pupuk organik dengan sendirinya merupakan keluaran setiap budidaya pertanian, sehingga merupakan sumber unsur hara makro dan mikro yang dapat dikatakan cuma-cuma. Pupuk organik berdaya amliorasi ganda dengan bermacam-macam proses yang saling mendukung, bekerja menyuburkan tanah dan sekaligus menkonservasikan dan menyehatkan ekosistem tanah serta menghindarkan kemungkinan terjadinya pencemaran lingkungan. Dengan demikian penerapan sistem pertanian organik pada gilirannya akan menciptakan pertanian yang berkelanjutan..

Dunia pertanian modern adalah dunia mitos keberhasilan modernitas. Keberhasilan diukur dari berapa banyaknya hasil panen yang dihasilkan. Semakin banyak, semakin dianggap maju. Di Indonesia, penggunaan pupuk dan pestisida kimia merupakan bagian dari Revolusi Hijau, sebuah proyek ambisius Orde Baru untuk memacu hasil produksi pertanian dengan menggunakan teknologi modern, yang dimulai sejak tahun 1970-an.

Gebrakan revolusi hijau di Indonesia memang terlihat pada dekade 1980-an. Saat itu, pemerintah mengkomando penanaman padi, pemaksaan pemakaian bibit impor, pupuk kimia, pestisida, dan lain-lainnya. Hasilnya, Indonesiasempat menikmati swasembada beras. Namun pada dekade 1990-an, petani mulai kelimpungan menghadapi serangan hama, kesuburan tanah merosot, ketergantungan pemakaian pupuk yang semakin meningkat dan pestisida tidak manjur lagi, dan harga gabah dikontrol pemerintah. Revolusi Hijau bahkan telah mengubah secara drastis hakekat petani. Dalam sejarah peradaban manusia, petani bekerja mengembangkan budaya tanam dengan memanfaatkan potensi alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Petani merupakan komunitas mandiri.

Nenek moyang memanfaatkan pupuk hijau dan kandang untuk menjaga kesuburan tanah, membiakkan benih sendiri, menjaga keseimbangan alam hayati dengan larangan adat. Mereka mempunyai sistem organisasi sosial yang sangat menjaga keselarasan, seperti organisasi Subak di Bali dan Lumbung Desa di pedesaan Jawa.
Dengan pertanian modern, petani justru tidak mandiri Padahal, FAO (lembaga pangan PBB), telah menegaskan Hak-Hak Petani (Farmer‘s Rights) sebagai penghargaan bagi petani atas sumbangan mereka. Hak-hak Petani merupakan pengakuan terhadap petani sebagai pelestari, pemulia, dan penyedia sumber genetik tanaman.

Hak-hak petani dalam deklarasi tersebut mencakup: hak atas tanah, hak untuk memiliki, melestarikan dan mengembangkan sumber keragaman hayati, hak untuk memperoleh makanan yang aman, hak untuk mendapatkan keadilan harga dan dorongan untuk bertani secara berkelanjutan, hak memperoleh informasi yang benar, hak untuk melestarikan, memuliakan, mengembangkan, saling tukar-menukar dan menjual benih serta tanaman, serta hak untuk memperoleh benihnya kembali secara aman yang kini tersimpan pada bank-bank benih internasional (Wacana, edisi 18, Juli-Agustus 1999).


Apa yang dikembangkan oleh para ilmuwan telah membedakan mana yang maju dan terbelakang, modern dan tradisional, serta efisien dan tidak efisien. Sedangkan buktinya, sistem pertanian yang disebut sebagai yang terbelakang, tradisional dan tidak efisien itu ternyata lebih bersifat ekologis, tidak merusak alam.

Dampak Negatif Pestisida Pertanian



Memang kita akui, pestisida banyak memberi manfaat dan keuntungan. Diantaranya, cepat menurunkan populasi jasad penganggu tanaman dengan periode pengendalian yang lebih panjang, mudah dan praktis cara penggunaannya, mudah diproduksi secara besar-besaran serta mudah diangkut dan disimpan. Manfaat yang lain, secara ekonomi penggunaan pestisida relatif menguntungkan. Namun, bukan berarti penggunaan pestisida tidak menimbulkan dampak buruk.


Akhir-akhir ini disadari bahwa pemakaian pestisida, khususnya pestisida sintetis ibarat pisau bermata dua. Dibalik manfaatnya yang besar bagi peningkatan produksi pertanian, terselubung bahaya yang mengerikan. Tak bisa dipungkiri, bahaya pestisida semakin nyata dirasakan masyarakat, terlebih akibat penggunaan pestisida yang tidak bijaksana. Kerugian berupa timbulnya dampak buruk penggunaan pestisida, dapat dikelompokkan atas 3 bagian : 

  1. Pestisida berpengaruh negatip terhadap kesehatan manusia, 
  2. Pestisida berpengaruh buruk terhadap kualitas lingkungan, dan
  3. Pestisida meningkatkan perkembangan populasi jasad penganggu   tanaman.


Pengaruh Negatif Pestisida Terhadap Kesehatan Manusia


Pestisida secara harfiah berarti pembunuh hama, berasal dari kata pest dan sida. Pestmeliputi hama penyakit secara luas, sedangkan sida berasal dari kata “caedo” yang berarti membunuh. Pada umumnya pestisida, terutama pestisida sintesis adalah biosida yang tidak saja bersifat racun terhadap jasad pengganggu sasaran. Tetapi juga dapat bersifat racun terhadap manusia dan jasad bukan target termasuk tanaman, ternak dan organisma berguna lainnya.


Apabila penggunaan pestisida tanpa diimbangi dengan perlindungan dan perawatan kesehatan, orang yang sering berhubungan dengan pestisida, secara lambat laun akan mempengaruhi kesehatannya. Pestisida meracuni manusia tidak hanya pada saat pestisida itu digunakan, tetapi juga saat mempersiapkan, atau sesudah melakukan penyemprotan.


Kecelakaan akibat pestisida pada manusia sering terjadi, terutama dialami oleh orang yang langsung melaksanakan penyemprotan. Mereka dapat mengalami pusing-pusing ketika sedang menyemprot maupun sesudahnya, atau muntah-muntah, mulas, mata berair, kulit terasa gatal-gatal dan menjadi luka, kejang-kejang, pingsan, dan tidak sedikit kasus berakhir dengan kematian. Kejadian tersebut umumnya disebabkan kurangnya perhatian atas keselamatan kerja dan kurangnya kesadaran bahwa pestisida adalah racun.


Kadang-kadang para petani atau pekerja perkebunan, kurang menyadari daya racun pestisida, sehingga dalam melakukan penyimpanan dan penggunaannya tidak memperhatikan segi-segi keselamatan. Pestisida sering ditempatkan sembarangan, dan saat menyemprot sering tidak menggunakan pelindung, misalnya tanpa kaos tangan dari plastik, tanpa baju lengan panjang, dan tidak mengenakan masker penutup mulut dan hidung. Juga cara penyemprotannya sering tidak memperhatikan arah angin, sehingga cairan semprot mengenai tubuhnya. Bahkan kadang-kadang wadah tempat pestisida digunakan sebagai tempat minum, atau dibuang di sembarang tempat. Kecerobohan yang lain, penggunaan dosis aplikasi sering tidak sesuai anjuran. Dosis dan konsentrasi yang dipakai kadang-kadang ditingkatkan hingga melampaui batas yang disarankan, dengan alasan dosis yang rendah tidak mampu lagi mengendalikan hama dan penyakit tanaman.

Secara tidak sengaja, pestisida dapat meracuni manusia atau hewan ternak melalui mulut, kulit, dan pernafasan. Sering tanpa disadari bahan kimia beracun tersebut masuk ke dalam tubuh seseorang tanpa menimbulkan rasa sakit yang mendadak dan mengakibatkan keracunan kronis. Seseorang yang menderita keracunan kronis, ketahuan setelah selang waktu yang lama, setelah berbulan atau bertahun. Keracunan kronis akibat pestisida saat ini paling ditakuti, karena efek racun dapat bersifat karsiogenic (pembentukan jaringan kanker pada tubuh), mutagenic (kerusakan genetik untuk generasi yang akan datang), dan teratogenic(kelahiran anak cacad dari ibu yang keracunan).


Pestisida dalam bentuk gas merupakan pestisida yang paling berbahaya bagi pernafasan, sedangkan yang berbentuk cairan sangat berbahaya bagi kulit, karena dapat masuk ke dalam jaringan tubuh melalui ruang pori kulit. Menurut World Health Organization (WHO), paling tidak 20.000 orang per tahun, mati akibat keracunan pestisida. Diperkirakan 5.000 – 10.000 orang per tahun mengalami dampak yang sangat fatal, seperti mengalami penyakit kanker, cacat tubuh, kemandulan dan penyakit liver. Tragedi Bhopal di India pada bulan Desember 1984 merupakan peringatan keras untuk produksi pestisida sintesis. Saat itu, bahan kimia metil isosianat telah bocor dari pabrik Union Carbide yang memproduksi pestisida sintesis (Sevin). Tragedi itu menewaskan lebih dari 2.000 orang dan mengakibatkan lebih dari 50.000 orang dirawat akibat keracunan. Kejadian ini merupakan musibah terburuk dalam sejarah produksi pestisida sintesis.



Selain keracunan langsung, dampak negatif pestisida bisa mempengaruhi kesehatan orang awam yang bukan petani, atau orang yang sama sekali tidak berhubungan dengan pestisida. Kemungkinan ini bisa terjadi akibat sisa racun (residu) pestisida yang ada didalam tanaman atau bagian tanaman yang dikonsumsi manusia sebagai bahan makanan. Konsumen yang mengkonsumsi produk tersebut, tanpa sadar telah kemasukan racun pestisida melalui hidangan makanan yang dikonsumsi setiap hari. Apabila jenis pestisida mempunyai residu terlalu tinggi pada tanaman, maka akan membahayakan manusia atau ternak yang mengkonsumsi tanaman tersebut. Makin tinggi residu, makin berbahaya bagi konsumen.



Dewasa ini, residu pestisida di dalam makanan dan lingkungan semakin menakutkan manusia. Masalah residu ini, terutama terdapat pada tanaman sayur-sayuran seperti kubis, tomat, petsai, bawang, cabai, anggur dan lain-lainnya. Sebab jenis-jenis tersebut umumnya disemprot secara rutin dengan frekuensi penyemprotan yang tinggi, bisa sepuluh sampai lima belas kali dalam semusim. Bahkan beberapa hari menjelang panenpun, masih dilakukan aplikasi pestisida. Publikasi ilmiah pernah melaporkan dalam jaringan tubuh bayi yang dilahirkan seorang Ibu yang secara rutin mengkonsumsi sayuran yang disemprot pestisida, terdapat kelainan genetik yang berpotensi menyebabkan bayi tersebut cacat tubuh sekaligus cacat mental.



Belakangan ini, masalah residu pestisida pada produk pertanian dijadikan pertimbangan untuk diterima atau ditolak negara importir. Negara maju umumnya tidak mentolerir adanya residu pestisida pada bahan makanan yang masuk ke negaranya. Belakangan ini produk pertanian Indonesia sering ditolak di luar negeri karena residu pestisida yang berlebihan. Media massa pernah memberitakan, ekspor cabai Indonesia ke Singapura tidak dapat diterima dan akhirnya dimusnahkan karena residu pestisida yang melebihi ambang batas. Demikian juga pruduksi sayur mayur dari Sumatera Utara, pada tahun 80-an masih diterima pasar luar negeri. Tetapi kurun waktu belakangan ini, seiring dengan perkembangan kesadaran peningkatan kesehatan, sayur mayur dari Sumatera Utara ditolak konsumen luar negeri, dengan alasan kandungan residu pestisida yang tidak dapat ditoleransi karena melampaui ambang batas..



Pada tahun 1996, pemerintah Indonesia melalui Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian sebenarnya telah membuat keputusan tentang penetapan ambang batas maksimum residu pestisida pada hasil pertanian. Namun pada kenyatannya, belum banyak pengusaha pertanian atau petani yang perduli. Dan baru menyadari setelah ekspor produk pertanian kita ditolak oleh negara importir, akibat residu pestisida yang tinggi. Diramalkan, jika masih mengandalkan pestisida sintesis sebagai alat pengendali hama, pemberlakuan ekolabelling dan ISO 14000 dalam era perdagangan bebas, membuat produk pertanian Indonesia tidak mampu bersaing dan tersisih serta terpuruk di pasar global.

Pestisida Berpengaruh Buruk Terhadap Kualitas Lingkungan





Masalah yang banyak diprihatinkan dalam pelaksanaan program pembangunan yang berwawasan lingkungan adalah masalah pencemaran yang diakibatkan penggunaan pestisida di bidang pertanian, kehutanan,  pemukiman, maupun di sektor kesehatan. Pencemaran pestisida terjadi karena adanya residu yang tertinggal di lingkungan fisik dan biotis disekitar kita. Sehingga akan menyebabkan kualitas lingkungan hidup manusia semakin menurun.
Pestisida sebagai bahan beracun, termasuk bahan pencemar yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Pencemaran dapat terjadi karena pestisida menyebar melalui angin, melalui aliran air dan terbawa melalui tubuh organisme yang dikenainya. Residu pestisida sintesis sangat sulit terurai secara alami. Bahkan untuk beberapa jenis pestisida, residunya dapat bertahan hingga puluhan tahun. Dari beberapa hasil monitoring residu  yang dilaksanakan, diketahui bahwa saat ini residu pestisida hampir ditemukan di setiap tempat lingkungan sekitar kita. Kondisi ini secara tidak langsung dapat menyebabkan pengaruh negatif terhadap  organisma bukan sasaran. Oleh karena sifatnya yang beracun serta relatif persisten di lingkungan, maka residu yang ditinggalkan pada lingkungan menjadi masalah.
Residu pestisida telah diketemukan di dalam tanah, ada di air minum, air sungai, air sumur, maupun di udara. Dan yang paling berbahaya racun pestisida kemungkinan terdapat di dalam makanan yang kita konsumsi sehari-hari, seperti sayuran dan buah-buahan.
Aplikasi pestisida dari udara jauh memperbesar resiko pencemaran, dengan adanya hembusan angin. Pencemaran pestisida di udara tidak terhindarkan pada setiap aplikasi pestisida. Sebab hamparan yang disemprot sangat luas. Sudah pasti, sebagian besar pestisida yang disemprotkan akan terbawa oleh hembusan angin ke tempat lain yang bukan target aplikasi, dan mencemari tanah, air dan biota  bukan sasaran.
Pencemaran pestisida yang diaplikasikan di sawah beririgasi sebahagian besar menyebar di dalam air pengairan, dan terus ke sungai dan akhirnya ke laut. Memang di dalam air terjadi pengenceran, sebahagian ada  yang terurai dan sebahagian lagi tetap persisten. Meskipun konsentrasi residu mengecil, tetapi masih tetap mengandung resiko mencemarkan lingkungan. Sebagian besar pestisida yang jatuh ke tanah yang dituju akan terbawa oleh aliran air irigasi.
Di dalam air, partikel pestisida tersebut akan diserap oleh mikroplankton-mikroplankton. Oleh karena pestisida itu persisten, maka konsentrasinya di dalam tubuh mikroplankton  akan meningkat sampai puluhan kali dibanding dengan pestisida yang mengambang di dalam air.Mikroplankton-mikroplankton tersebut kelak akan dimakan zooplankton. Dengan demikian pestisida tadi ikut termakan. Karena sifat persistensi yang dimiliki pestisida, menyebabkan konsentrasi di dalam tubuh zooplankton meningkat lagi hingga puluhan mungkin ratusan kali dibanding dengan yang ada di dalam air. Bila zooplankton zooplankton tersebut dimakan oleh ikan-ikan kecil, konsentarsi pestisida di dalam tubuh ikan-ikan tersebut lebih meningkat lagi. Demikian pula  konsentrasi pestisida di dalam tubuh ikan besar yang memakan ikan kecil tersebut. Rantai konsumen yang terakhir yaitu manusia yang mengkonsumsi ikan  besar, akan menerima konsentrasi tertinggi dari pestisida tersebut.
Model pencemaran seperti yang dikemukakan, terjadi melalaui rantai makanan, yang bergerak dari aras tropi yang terendah menuju aras tropi yang tinggi. Mekanisme seperti yang dikemukakan, diduga terjadi pada kasus pencemaran Teluk Buyat di Sulawesi, yang menghebohkan sejak tahun lalu. Diduga logam-logam berat limbah sebuah industri PMA telah terakumulasi di perairan Teluk Buyat. Sekaligus mempengaruhi secara negatif biota perairan, termasuk ikan-ikan yang dikonsumsi masyarakat setempat.
Kasus pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida dampaknya tidak segera dapat dilihat. Sehingga sering kali diabaikan dan terkadang dianggap sebagai akibat sampingan yang tak dapat dihindari. Akibat pencemaran lingkungan terhadap organisma biosfer, dapat mengakibatkan kematian dan menciptakan hilangnya spesies tertentu yang bukan jasad sasaran. Sedangkan kehilangan satu spesies dari muka bumi dapat menimbulkan akibat negatif jangka panjang yang tidak dapat diperbaharui. Seringkali yang langsung terbunuh oleh penggunaan pestisida adalah spesies serangga yang menguntungkan seperti lebah, musuh alami hama, invertebrata, dan bangsa burung.
Di daerah Simalungun, diketahui paling tidak dua jenis spesies burung yang dikenal sebagai pengendali alami hama serangga, saat ini sulit diketemukan dan mungkin saja sedang menuju kepunahan.  Penyebabnya, salah satu adalah akibat pengaruh buruk pestisida terhadap lingkungan, yang tercemar melalui rantai makanan.
Spesies burung Anduhur Bolon, disamping pemakan biji-bijian, juga dikenal sebagai predator serangga, khususnya hama Belalang (famili Locustidae) dan hama serangga Anjing Tanah (famili Gryllotalpidae). Untuk mencegah gangguan serangga Gryllotalpidae yang menyerang kecambah padi yang baru tumbuh, pada saat bertanam petani biasanya mencampur benih padi dengan pestisida organoklor seperti Endrin dan Diendrin yang terkenal sangat ampuh mematikan hama serangga. Jenis pestisida ini hingga tahun 60-an masih diperjual-belikan secara bebas, dan belum dilarang penggunaaanya untuk kepentingan pertanian.
Akibat efek racun pestisida, biasanya 2 – 3 hari setelah bertanam serangga-seranggaGryllotalpidae  yang bermaksud memakan kecambah dari dalam tanah,  mengalami mati massal  dan  menggeletak diatas permukaan tanah.  Bangkai serangga ini tentu saja menjadi makanan yang empuk bagi burung-burung  Anduhur Bolon, tetapi sekaligus mematikan spesies burung pengendali alami tersebut.
Satu lagi, spesies burung Tullik. Burung berukuran tubuh kecil ini diketahui sebagai predator ulat penggerek batang padi (Tryporiza sp). Bangsa burung Tullik sangat aktif mencari ulat-ulat yang menggerek batang padi, sehingga dalam kondisi normal perkembangan serangga hama penggerek batang padi dapat terkontrol secara alamiah berkat jasa burung tersebut. Tetapi seiring dengan pesatnya pemakaian pestisida, terutama penggunaan pestisida sistemik, populasi burung tersebut menurun drastis. Bahkan belakangan ini, spesies tersebut sulit diketemukan. Hilangnya spesies burung ini, akibat  efek racun yang terkontaminasi dalam tubuh ulat padi, yang dijadikan burung Tullik sebagai makanan utamanya.
Belakangan ini, penggunaan  pestisida memang sudah diatur dan dikendalikan. Bahkan pemerintah melarang peredaran jenis pestisida tertentu yang berpotensi menimbulkan dampak buruk. Tetapi sebahagian sudah terlanjur. Telah banyak terjadi degradasi lingkungan berupa kerusakan ekosistem, akibat penggunaan pestisida yang tidak bijaksana. Salah satu contohnya adalah hilangnya populasi spesies predator hama, seperti yang dikemukakan diatas.

 Pestisida Meningkatkan Perkembangan Populasi Jasad Penganggu Tanaman
Tujuan penggunaan pestisida adalah untuk mengurangi populasi hama. Akan  tetapi dalam kenyataannya, sebaliknya malahan sering meningkatkan populasi jasad pengganggu tanaman, sehingga tujuan penyelamatan kerusakan tidak tercapai. Hal ini sering terjadi, karena kurang pengetahuan dan perhitungan tentang dampak penggunaan pestisida. Ada beberapa penjelasan ilmiah yang dapat dikemukakan mengapa pestisida menjadi tidak efektif, dan malahan sebaliknya bisa meningkatkan perkembangan populasi jasad pengganggu tanaman.
Berikut ini diuraikan tiga dampak buruk penggunaan pestisida, khususnya yang mempengaruhi peningkatan perkembangan populasi hama.

1.   Munculnya Ketahanan  (Resistensi) Hama Terhadap Pestisida
Timbulnya ketahanan hama terhadap pemberian pestisida yang terus menerus, merupakan fenomena dan konsekuensi ekologis yang umum dan logis.
Munculnya resistensi adalah sebagai reaksi evolusi menghadapi suatu tekanan (strees). Karena hama terus menerus mendapat tekanan oleh pestisida, maka melalui proses seleksi alami, spesies hama mampu membentuk strain baru yang lebih tahan terhadap pestisida tertentu yang digunakan petani. Pada tahun 1947, dua tahun setelah penggunaan  pestisida DDT, diketahui muncul strain serangga yang resisten terhadap DDT. Saat ini,  telah didata lebih dari 500 spesies serangga hama telah resisten terhadap berbagai jenis kelompok insektisida.
Mekanisme timbulnya resistensi hama dapat dijelaskan sebagai berikut. Apabila suatu populasi hama yang terdiri dari banyak individu, dikenakan pada suatu tekanan lingkungan, misalnya penyemprotan bahan kimia beracun, maka sebagian besar individu populasi tersebut akan mati terbunuh. Tetapi dari sekian banyak individu, ada satu atau beberapa individu yang mampu bertahan  hidup. Tidak terbunuhnya individu yang bertahan tersebut,  mungkin disebabkan  terhindar dari efek racun pestisida,  atau sebahagian karena sifat genetik yang dimilikinya. Ketahanan secara genetik ini, mungkin disebabkan kemampuan memproduksi enzim detoksifikasi yang mampu menetralkan daya racun pestisida. Keturunan individu tahan ini, akan menghasilkan populasi yang juga tahan secara genetis.  Oleh karena itu, pada generasi berikutnya anggota populasi akan terdiri dari lebih banyak individu yang tahan terhadap pestisida. Sehingga muncul populasi hama yang benar-benar resisten. 
Dari penelaahan sifat-sifat hama, hampir setiap individu memiliki potensi untuk menjadi tahan terhadap pestisida. Hanya saja, waktu dan besarnya ketahanan tersebut bervariasi, dipengaruhi oleh jenis hama, jenis pestisida yang diberikan, intensitas pemberian pestisida dan faktor-faktor lingkungan lainnya. Oleh karena sifat resistensi dikendalikan oleh faktor genetis, maka fenomena resistensi adalah permanent, dan tidak dapat kembali lagi. Bila sesuatu jenis serangga telah menunjukkan sifat ketahanan dalam waktu yang cukup lama, serangga tersebut tidak akan pernah berubah kembali lagi menjadi serangga yang peka terhadap pestisida.
Di Indonesia, beberapa jenis-jenis hama yang diketahui resisten terhadap pestisida antara lain hama Kubis Plutella xylostella, hama Kubis Crocidolomia pavonana, hama penggerek umbi Kentang Phthorimaea operculella, dan Ulat Grayak Spodoptera litura. Demikian juga hama hama-hama tanaman padi seperti wereng coklat (Nilaparvata lugens), hama walang sangit (Nephotettix inticeps) dan ulat penggerek batang (Chilo suppressalis). dilaporkan mengalami peningkatan ketahanan terhadap pestisida. Dengan semakin tahannya hama terhadap pestisida, petani terdorong untuk semakin sering melakukan penyemprotan dan sekaligus melipat gandakan tinggkat dosis. Penggunaan pestisida yang berlebihan ini dapat menstimulasi peningkatan populasi hama.
Ketahanan terhadap pestisida tidak hanya berkembang pada serangga atau binatang arthropoda lainnya, tetapi juga saat ini telah banyak kasus timbulnya ketahanan pada pathogen/penyakit tanaman terhadap fungisida, ketahanan gulma terhadap herbisida dan ketahanan nematode terhadap nematisida.

 2.   Resurgensi Hama
Peristiwa resurgensi hama terjadi apabila setelah diperlakukan aplikasi pestisida, populasi hama  menurun dengan cepat dan secara tiba-tiba justru meningkat lebih tinggi dari jenjang polulasi sebelumnya. Resurgensi sangat mengurangi efektivitas dan efesiensi pengendalian dengan pestisida.
Resurjensi hama terjadi karena pestisida, sebagai racun yang berspektrum luas, juga membunuh musuh alami. Musuh alami yang terhindar dan bertahan terhadap penyemprotan pestisida,  sering kali mati kelaparan karena populasi mangsa untuk sementara waktu terlalu sedikit, sehingga tidak tersedia makanan dalam jumlah cukup. Kondisi demikian terkadang menyebabkan musuh alami beremigrasi untuk mempertahankan hidup. Disisi lain, serangga hama akan berada pada kondisi yang lebih baik dari sebelumnya. Sumber makanan tersedia dalam jumlah cukup dan pengendali alami sebagai pembatas pertumbuhan populasi menjadi tidak  berfungsi. Akibatnya populasi hama meningkat tajam segera setelah penyemprotan.
Resurgensi hama, selain disebabkan karena terbunuhnya musuh alami, ternyata dari penelitian  lima  tahun terakhir dibuktikan bahwa ada jenis-jenis pestisida tertentu yang memacu peningkatan telur serangga hama . Hasil ini telah dibuktikan International Rice Research Institute terhadap hama Wereng Coklat (Nilaparvata lugens).

3.   Ledakan Populasi Hama Sekunder
Dalam ekosistem pertanian,  diketahui terdapat beberapa hama utama dan banyak hama-hama kedua atau hama sekunder. Umumnya tujuan penggunaan pestisida adalah untuk mengendalikan hama utama yang paling merusak. Peristiwa ledakan hama sekunder terjadi, apabila setelah perlakuan pestisida menghasilkan penurunan populasi hama utama, tetapi kemudian terjadi peningkatan populasi pada spesies yang sebelumnya bukan  hama utama, sampai tingkat yang merusak. Ledakan ini seringkali disebabkan oleh terbunuhnya musuh alami, akibat penggunaan pestisida yang berspektrum luas. Pestisida tersebut tidak hanya membunuh hama utama yang menjadi sasaran, tetapi juga membunuh serangga berguna, yang dalam keadaan normal secara alamiah efektif mengendalikan populasi hama sekunder.
 Peristiwa terjadinya ledakan populasi hama sekunder di Indonesia,  dilaporkan pernah terjadi ledakan hama ganjur di hamparan persawahan Jalur Pantura Jawa Barat, setelah daerah tersebut disemprot intensif pestisida Dimecron dari udara untuk memberantas hama utama penggerek padi kuning Scirpophaga incertulas. Penelitian dirumah kaca membuktikan, dengan menyemprotkan Dimecron pada tanaman padi muda, hama ganjur dapat berkembang dengan baik, karena parasitoidnya terbunuh. Munculnya hama wereng coklat Nilaparvata lugens setelah tahun 1973 mengganti kedudukan hama penggerek batang padi sebagai hama utama di Indonesia, mungkin disebabkan penggunaan pestisida golongan khlor secara intensif untuk mengendalikan hama sundep dan weluk

Keseimbangan Penggunaan Pupuk Organik dan Non Organik



Masyarakat Mantup, Kabupaten Lamongan memanfaatkan lahan pertanian sebagai mata pencaharian sehari-hari. Prodiktifitas tanaman unggulan berupa padi, Jagung, Kedelai, dan lainya.

Untuk meningkatkan produktifitas pertanian masyarakat Mantup tak lepas dari Penggunaan zat-zat kimia. Zat-zat kimia seperti pupuk dan pestisida ini diharapkan akan meningkatkan produktivitas tanaman Padi sehingga hasil penen menjadi lebih meningkat dan kualitas beras bisa di andalkan.

Penggunaan zat-zat kimia yang berlebihan pada tanah akan berakibat buruk pada kelestarian unsur-unsur kesuburan dan kelestarian tanah tersebut. Tanah akan kehilangan kesuburan alaminya dan pada jangka panjang tidak dapat dipakai lagi untuk bercocok tanam selalu menggunakn unsure-unsur kimiawi. Sehingga pada masa yang akan datang akan sangat ironis jika pada daerah dataran tinggi yang seharusnya subur tetapi  tanahnya tidak dapat dipakai bercocok tanam.

Kecenderungan masyarakat untuk memanfaatkan lahan yang ada bagi peningkatan ekonomi mereka bersifat profit oriented, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan. Contoh: kecenderungan masyarakat untuk menanam tanaman yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dengan waktu yang relative singkat, antara lain dengan penanaman pohon sengon (fast growing species) dan tanaman kentang (tanaman semusim).  Daerah kawasan Dieng yang memiliki tingkat kelerengan yang relatif tinggi memiliki kerentanan tanah yang tinggi sehingga pola tanam yang ada diwilayah tersebut seharusnya meliputi tanaman yang memiliki akar tunggang atau tanaman jangka panjang, hal ini akan menyebabkan tingkat erosi tanah akan semakin kecil. oleh karena itu jika kawasan Dieng yang memiliki kerentanan tanah yang tinggi sangat berisiko untuk ditanami tanaman semusim (kentang), karena dalam jangka panjang akan menyebabkan kerusakan lingkungan.

Salah satu alternatif adalah Keseimbangan Penggunaan Pupuk Organik dan Non Organik, Untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangannya, tanaman memerlukan nutrisi berupa pupuk. Sumber pupuk dapat diperoleh dari bahan organik dan non organik.


Ada suatu perkembangan info yang menarik mengenai pupuk, perkembangan ini menyangkut silang pendapat antara penggunaan pupuk organik dan non organik pada tanaman. Ada satu pihak menyatakan bahwa pupuk organik dapat memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan non organik, demikian pula sebaliknya.

Menurut Wikipedia, Pupuk organik adalah pupuk yang tersusun dari materi makhluk hidup, seperti pelapukan sisa -sisa tanaman, hewan, dan manusia. Pupuk organik dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah.Pupuk organik mengandung banyak bahan organik daripada kadar haranya. Sumber bahan organik dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, dan sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri yang menggunakan bahan pertanian, dan limbah kota (sampah).

Kelompok pupuk organik:

  1. Pupuk hijau (dari kelompok kacang-kacangan).
  2. Pupuk kandang (fermentasi kotoran hewan seperti sapi, kambing, ayam).
  3. Kompos daun (fermentasi dari sampah daun kaliandra, bambu, dll).
  4. Pupuk organik konsentrat cair (Wide Spectrum, Nungtulo, Green Source).
  5. Pupuk kascing (dari kotoran cacing).
  6. Pupuk organik konsentrat padat Green Farm, Subur Ijo, NPK organik Novelgro.


Di dalam setiap tanaman terdapat potensi genetik untuk dapat memberikan hasil yang maksimal, dimana potensi hasil yang maksimal dapat diberikan dengan dukungan nutrisi yang terukur (misal 1 gram per liter atau 1 ml per liter). Nutrisi tanaman dalam bentuk pupuk organik pada dasarnya sudah memberikan hasil yang baik namun belum maksimal, misal pupuk kandang mempunyai kandungan N yang berfluktuasi (naik-turun), hal ini tergantung dari makanan yang dimakan oleh hewan tersebut. Untuk itu diperlukan tambahan pupuk non organik yang terukur misal pupuk Urea, Gandasil Hijau, Bayfolan, dan lain-lain untuk memberikan hasil yang maksimal. Jadi mana yang lebih baik? Yang lebih baik tentunya adalah keseimbangan pemberian keduanya.


Diharapkan kedepanya masyarakat Mantup dapat lebih bijak untuk menggunakan jenis pupuk dan salah satu alternatif paling dekat adalah Keseimbangan Penggunaan Pupuk Organik dan Non Organik.

Rabu, 04 Juli 2012

Mesin Pemanen Padi Modern



Saatnya Petani Lamongan Menikmati Teknologi 



Lamongan - Mesin potong padi modern sekaligus perontokan gabah diperkenalkan di Desa Lopang Kecamatan Kembangbahu Kabupaten Lamongan (18/6). 

H. Sono Pemilik lahan sawah yang menjadi Demplot alat Mesin panen  mengatakan, dengan hadirnya mesin pemotong padi ini para petani bisa melakukan efesiensi saat bergulirnya musim panen padi. Karena mesin yang berbobot 2,4 ton itu mampu bekerja lebih cepat kurang dari 2 jam dalam pengerjaan 1 Ha sawah dengan memotong plus merontokkan padi yang gabahnya selesai di masukan kedalam karung dan siap dibawa pulang.




Selain itu, “jika petani menggunakan mesin ini selain efesien juga dapat meningkatkan hasil, ditambah pola tanam bagi petani bisa dilaksanakan lebih cepat dan keuntungan yang diperoleh warga lebih besar dibandingkan dilaksanakan panen padi secara manual. karena dapat menurunkan losis sampai 3%,” kata Drs. H. SANUSI, M.Si Anggota DPRD Lamongan yang kebetulan menyaksikan Demonstrasi waktu di temui.


kata Khusnan petugas CV. Wong Tani Sejati (pemilik mesin panen_Red), kami hanya memungut upah Rp. 1.500.000 Per Hektar, “ kita akan melakukan sosialisasi kepada petani, agar secara pelan-pelan mereka memahaminya dan menerima mesin tersebut, kami siap melayani petani Lamongan, silahkan saja hubungi kami di Nomor 081331511711 " Ujarnya Sambil Tersenyum.


Teknologi pertanian dewasa ini terus menyesuaikan jaman agar para petani terbantu untuk meningkatkan produksi_nya adapun Cara kerja mesin tersebut, memotong batang padi sekaligus merontokkan yang langsung diolah menjadi gabah siap untuk dijual oleh petani.

Petani Modern dengan Kearifan Lokal


13333373791650834366 

Pernahkah Anda membiarkan nasi (sisa) di atas meja, dan keesokan harinya Anda mendapati nasi itu menjadi basi?
Mungkin Anda juga paham bahwa buah dan sayuran di dapur, ketika dibiarkan makin lama akan semakin membusuk. Mungkin Anda juga memahami bagaimana kayu mengalami pelapukan pelan-pelan, kemudian berbaur dengan tanah. Ketika tanah yang bercampur kayu lapuk itu ditanami, hasilnya akan woww!! Apa yang menjadikan bahan itu busuk dan lapuk? Bagaimana mempercepat proses pembusukan itu menjadi beberapa kali lipat dari kondisi normalnya? Salah satu cara adalah dengan melipatgandakan jumlah mikroorganisme pembusuknya.
.
Mikro Organisme Lokal (MOL)
Setiap daerah, akan didominasi oleh jenis mikroorganisme (bakteri dan fungi) yang berbeda. Jenis (spesies) yang dominan sangat dipengaruhi oleh iklim (perubahan suhu, derajat kelembaban), karakter bakteri dan media berkembangbiaknya di lokasi tersebut. Oleh karena perbedaan dominasi sesuai lingkungan itulah, disebut mikro organisme lokal. Dengan kata lain, mikroorganisme spesifik sesuai lokasi berbembangbiaknya.
Mikro organisme yang tidak terlihat oleh mata telanjang itu, punya peran besar bagi kehidupan khususnya bidang pertanian. Tidak disangsikan lagi, tanah yang memiliki bahan organik melimpah, mikroorganismenya juga akan melimpah. Pertanyaan menariknya adalah, bisakah bakteri atau fungi itu dikembangkbiakkan atau diternak? Bagaimana mengembangbiakkannya? Setelah berkembangbiak, untuk apa?
Teknologi pertanian sederhana telah menjawab hal tersebut untuk memulihkan, bahkan menyuburkan tanah. Dan sekarang, telah muncul produk-produk Pupuk Organik Cair (POC) dengan beragam merk, beragam perusahan, juga beragam model pemasaran. Petani sebagai sasaran produk-produk pertanian, sebaiknya bijak dan cerdas sebelum membeli. Petani perlu dibekali pengetahuan dasar tentang hal ini.
Di sekitar kita, banyak sekali bahan yang bisa dimanfaatkan untuk pembuatan Pupuk Organik Cair (POC). Kenapa harus membeli dari perusahaan yang menjualnya dengan harga tinggi karena biaya produksi dan pemasarannya memang telah tinggi, dengan kisaran harga Rp 40.000,- s.d Rp. 170.000,- per liter?
Padahal dengan harga sebanyak itu, petani bisa membuat sendiri 40 s.d 170 liter pupuk cair (dengan asumsi harga gula merah Rp 10.000,- per kg dicampurkan dengan air 10 liter) dengan memanfaatkan bahan-bahan lain disekitarnya, tidak perlu membeli.
Ya, memang media sederhana untuk membuat POC adalah gula merah seperti disebutkan di atas, bisa juga tetes tebu, agar-agar dan bahan lain dengan kandungan glukosa tinggi lainnya. Gula merah yang berglukosa tinggi itu akan berfungsi sebagai bahan penyusun tubuh mokroorganisme sehingga berkembang biak. Perkembangbiakan bakteri terjadi melalui pembelahan/pemisahan diri (misalnya dari 1 menjadi 2, kemudian 4, lalu 8, 16, 32, 64, 128, 256 dst) per periode tertentu, biasanya per 15 menit.
Proses pembuatan POC, umumnya hanya dalam kurun waktu 15 hari dan tidak rumit. Dari hitungan pembelahan bakteri per 15 menit di atas, berapa banyak sebuah bakteri berkembang selama 15 hari? Oleh karenanya, jangan heran bila dalam kemasan produk-produk Pupuk Organik Cair disebutkan jutaan bahkan trilyunan bakteri di dalamnya.
Berikut ini adalah kerangka umum yang bisa dijadikan acuan. Hal-hal yang lebih spesifik bisa ditelusuri melalui search engine, dengan mengetikkan kata ‘mikro organisme lokal’. Harapannya, dengan mengetahui kerangka umum pengembangbiakan mikroorganisme lokal, petani tidak terombang-ambing pada produk baru yang semakin bertambah jumlahnya. Konsep umumnya adalah sebagai berikut, disesuaikan dengan kebutuhan yang akan dibuat:

1. Siapkan gula merah dan air bersih (1 kg gula merah, untuk 10 liter air). Air bersih bisa digantikan dengan air kelapa, bila ada. Air kelapa memiliki derajat keasaman (pH) netral dengan kandungan elektrolit dan mineral cukup beragam, baik untuk perkembangbiakan bakteri. Hancurkan gula merah itu, kemudian larutkan dalam air.

2. Siapkan bahan-bahan organik di sekitar kita. Misalnya nasi kenduri yang tidak termakan dan belum bercampur minyak goreng. Bahan lainnya seperti buah-buahan, sayur-sayuran, daun-daunan juga bisa dimanfaatkan. Pemilihan bahan organik ini bebas, dengan tujuan memanfaatkan bahan sebagai media untuk dirombak dan media berkembangbiak. Perkirakan bahan organik ini antara 2,5 s.d 5 kg, atau sesuaikan dengan wadah. Masukkan bahan tersebut ke dalam larutan gula merah di point 1 tersebut di atas.

3. Siapkan sumber-sumber bakteri sebanyak 1 kg (kayu lapuk, keong mas atau bekicot yang telah dicacah, isi usus ayam-ikan-sapi-kambing dll, air kencing sapi-kambing dll, kotoran sapi). Masukkan ke dalam larutan gula merah. Sumber-sumber bakteri ini disebut media starter untuk memperbanyak bakteri yang dikandungnya.

4. Tutup ketiga campuran di atas dengan plastik atau penutup lainnya. Buka tutupnya sebentar setiap pagi untuk mengeluarkan gasnya. Gas yang terbentuk adalah tanda bahwa proses perombakan bahan-bahan campuran sedang berlangsung oleh bakteri. Bila sampai seminggu tidak terjadi tanda-tanda pembentukan gas (wadah tidak mengembung), ganti saja bahan-bahannya.

5. Biarkan selama 15 hari atau sampai selesai terbentuk lapisan tepung berwarna putih seperti bedak di atas permukaan larutan gula. Saring hingga larutan gula terpisah dengan campuran kasar. Bakteri yang dikembangbiakkan ada dalam larutan gula itu.

6. Bila point 5 telah terpenuhi, maka siap diaplikasikan. Campurkan 70 s.d 150 ml POC dengan 15 liter air. Siramkan atau semprotkan ke tanah. Ulangi lagi setiap 15 hari.
Ada banyak manfaat dari pengembangbiakan MOL melalui pembuatan POC ini. Ketika POC diaplikasikan ke tanah, akan semakin banyak bakteri yang merombak residu (sisa) pupuk yang tidak dapat terurai dalam tanah tetapi tidak dapat diserap oleh tanaman. Juga, makin cepatnya proses penguraian bahan organik mentah hingga siap diserap tanaman. Akhirnya, tanah yang makin subur karena pemberian POC ini, akan menyuburkan tanaman dan produksinya juga meningkat.

Dalam skala rumah tangga, para ibu-ibu dan remaja putri yang menyukai tanaman hias juga bisa memanfaatkan teknologi sederhana ini, untuk menyuburkan tanaman hiasnya. Siramkan POC buatan sendiri ini setelah ditambahkan air bersih seperti pada point 6.
Anda mungkin bukan petani, tidak ada salahnya berbagi hal ini kepada tetangga, teman, saudara kita yang petani. Kita tahu, 60% penduduk miskin berdomisili di desa, berprofesi sebagai petani dengan adopsi informasi teknologi yang lambat. Demikian, sengaja ditulis dengan mencoba pemaparan sederhana yang jauh dari bahasa ilmiah yang memusingkan.
Ingatlah bahwa kata TANI yang digagas oleh Presiden Soekarno kala itu, adalah akronim dari Tiang Agung Negara Indonesia.

PENGOLAHAN LAHAN PADI SAWAH




Pengolahan bertujuan untuk mengubah sifat fisik tanah agar lapisan yang semula keras menjadi datar dan melumpur. Dengan begitu gulma akan mati dan membusuk menjadi humus, aerasi tanah menjadi lebih baik, lapisan bawah tanah menjadi jenuh air sehingga dapat menghemat air. Pada pengolahan tanah sawah ini, dilakukan juga perbaikan dan pengaturan pematang sawah serta selokan. Pematang (galengan) sawah diupayakan agar tetap baik untuk mempermudah pengaturan irigasi sehingga tidak boros air dan mempermudah perawatan tanaman. Tahapan pengolahan tanah sawah pada prinsipnya mencakup kegiatan–kegiatan sebagai berikut:

a.    Pembersihan
Pematang sawah dibersihkan dari rerumputan, diperbaiki, dan dibuat agak tinggi. Fungsi utama Pematangdisaat awal untuk menahan air selama pengolahan tanah agar tidak mengalir keluar petakan. Fungsi selanjutnya berkaitan erat dengan pengaturan kebutuhan air selama ada tanaman padi.
Saluran atau parit diperbaiki dan dibersihkan dari rerumputan. Kegiatan tersebut bertujuan agar dapat memperlancar arus air serta menekan jumlah biji gulma yang terbawa masuk ke dalam petakan. Sisa jerami dan sisa tanaman pada bidang olah dibersihkan sebelum tanah diolah.
Jerami tersebut dapat diangkut ke tempat lain untuk pakan ternak, kompos, atau bahan bakar. Pembersihan sisa–sisa tanaman dapat dikerjakan dengan tangan dan cangkul.

b.   Pencangkulan
Setelah dilakukan perbaikan Pematangdan saluran, tahap berikutnya adalah pencangkulan. Sudut–sudut petakan dicangkul untuk memperlancar pekerjaan bajak atau traktor. Pekerjaan tersebut dilaksanakan bersamaan dengan saat pengolahan tanah.

c. Pembajakan
Pembajakan dan penggaruan merupakan kegiatan yang berkaitan. Kedua kegiatan tersebut bertujuan agar tanah sawah melumpur dan siap ditanami padi. Pengolahan tanah dilakukan dengan dengan menggunakan mesin traktor. Sebelum dibajak, tanah sawah digenangi air agar gembur. Lama penggenangan sawah dipengaruhi oleh kondisi tanah dan persiapan tanam. Pembajakan biasanya dilakukan dua kali. Dengan pembajakan ini diharapkan gumpalan–gumpalan tanah terpecah menjadi kecil–kecil. Gumpalan tanah tersebut kemudian dihancurkan dengan garu sehingga menjadi lumpur halus yang rata. Keuntungan tanah yang telah diolah tersebut yaitu air irigasi dapat merata. Pada petakan sawah yang lebar, perlu dibuatkan bedengan–bedengan. Antara bedengan satu dengan bedenglainnya berupa saluran kecil. Ujung saluran bertemu dengan parit kecil di tepi galengan yang berguna untuk memperlancar air irigasi.
  • Pengolahan tanah merupakan faktor yang berpengaruh langsung terhadap hasil padi selain faktor-faktor lainnya seperti pemupukan, pengairan, pengendalian hama penyakit dll
  • Pengolahan tanah dapat dilakukan secara kering atau basah. Tetapi yang biasanya dilakukan pada umumnya adalah secara basah
  • Cara pengolahan tanah dapat menggunakan tenaga manusia, hewan atau alat-alat mesin pertanian.


Secara Umum Pengolahan tanah meliputi 3 fase:
  1. Penggenangan tanah sawah sampai tanah jenuh air.
  2. Membajak sebagai awal pemecahan bongkah dan membalik tanah.
  3. Menggaru untuk menghancurkan dan melumpurkan tanah.
  • Untuk 3 fase pengolahan tanah tersebut menggunakan 1/3 kebutuhan air dari total kebutuhan air selama pertumbuhan tanaman
  • Pengolahan tanah dengan cara basah yaitu tanah sawah dibajak dalam keadaan basah dan digaru memanjang dan menyilang sampai tanah melumpur dengan baik.
  • Pengolahan tanah paling lambat 15 hari sebelum pemindahan bibit


Ciri-ciri tanah yang telah selesai olah dan siap untuk ditanami:
  1. Tanah terolah sampai berlumpur
  2. Air tidak lagi banyak merembes ke dalam tanah
  3. Permukaan tanah rata
  4. Pupuk tercampur rata
  5. Bersih dari sisa gulma dan tanaman